Kamis, 25 Maret 2010

Cerita tentang Ulung Satu Tahun

Cerita ini saya retrieve dari Radar Banten online 24 November 2007

Ulung Hara Utomo, Setahun Jadi Inspirator Cangkok Hati Anak Indonesia
Setahun pasca operasi cangkok hati di RS Kariadi, Semarang, balita Ulung Hara Hutomo maupun si pendonor, ibunya sendiri, kondisinya semakin membaik. Orangtua pasien cangkok hati dengan donor hidup pertama di Indonesia itu kini sibuk menjadi “konsultan” bagi anak-anak yang punya problem yang sama. RICKY F-Semarang SEPERTI anak normal umumnya, Ulung yang kini menginjak usia 2 tahun 4 bulan, terlihat aktif. Saat ditemui usai kontrol di Klinik Hepatologi, Paviliun Garuda RS dr Kariadi, Kamis (22/11), badannya seperti tak bisa diam.“Sampai sekarang dua bulan sekali masih harus kontrol ke dokter untuk mengetahui perkembangannya,” kata Didik, ayah Ulung. Ulung memang tampak sehat. Tinggi dan berat badannya tumbuh ideal. Kesegaran fisik itu terlihat dari pipinya yang montok, bola mata yang lebar, serta rambut berombak Ulung yang disisir rapi. Dia juga tidak takut kontak dengan orang lain. Saat diambil gambarnya, dia malah menunjuk-nunjuk kamera dengan senang. Didik mengakui, putra keduanya tersebut sudah berkembang layaknya anak normal. Padahal, sebelum operasi, saat usianya 15 bulan, Ulung tak bisa jalan. Bahkan, pertumbuhan badannya tak seperti anak sebayanya. Maklum, sejak lahir, Ulung mengalami kelainan pada organ tubuh yang disebut atresia bilier. Saluran empedunya tidak bisa berfungsi, sehingga cairan empedu tertimbun di hati. Timbunan itu menyebabkan kerusakan sel-sel hati, sehingga hati Ulung mengalami sirosis (pengerutan) dan tidak bisa berfungsi secara baik. Yang lebih membuat orangtuanya waswas, dibanding anak normal, Ulung saat itu juga lebih sensitif terhadap segala jenis penyakit menular. “Sekarang Ulung sudah bisa jalan,” katanya. Menurut Didik, sebulan yang lalu Ulung kembali harus diopname di rumah sakit karena kadar Hb darahnya rendah. Selama tujuh hari dirawat, Ulung mendapat transfusi darah. Selain itu, hingga sekarang dia masih harus mengonsumsi Prograf (obat khusus untuk pasien cangkok hati). Soal makanan, lanjut Didik, anaknya doyan segala jenis makanan yang biasa dikonsumsi orang normal. Namun abon, permen, dan martabak Bandung menjadi favorit Ulung. Operasi cangkok liver di RS Kariadi itu membuat Ulung dan ibunya sering jadi rujukan bagi pasien anak yang mengalami kelainan serupa. Keprihatian itu pula yang mendorong Didik mendirikan LSM Penyakit Hati Anak. Lewat lembaga yang didirikan tepat setahun setelah operasi yang sukses itu, keluarga Didik melayani konsultasi bagi orangtua pasien anak lainnya. Kegiatan utama LSM-nya, kata Didik, masih sebatas memberikan informasi tentang penyakit hati kepada yang membutuhkan. Kata dia, cangkok hati merupakan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan pasien. Menurut dia, informasi tentang penyakit hati di Indonesia masih sangat minim. Selama ini orang lebih banyak mencari keterangan dari internet atau sumber lainnya. Minimnya informasi tentang kelainan atresia bilier seperti yang dialami Ulung tersebut juga diungkapkan penggagas cangkok hati RS dr Kariadi Prof Dr dr Soemantri Ag SpA (K) Ssi. Menurut dia, selama ini masih banyak pasien yang pergi ke rumah sakit di luar negeri untuk melakukan operasi. Padahal, tidak semua pasien berasal dari golongan berpunya. Dengan keberhasilan operasi Ulung, tim dokter berhasil membuktikan bahwa Indonesia juga bisa melakukan operasi cangkok hati. Apalagi, operasi di dalam negeri mampu menekan biaya. “Jika ditangani dengan baik, pasien pasti dapat diselamatkan,” katanya. Prof Soemantri dan para koleganya di RS Kariadi kini gencar melakukan upaya sosialisasi. Salah satunya dengan menerbitkan buku “Selayang Pandang Cangkok Hati pada Anak”. Selain itu, mereka juga berencana menggelar Simposium Internasional Transplantasi Hati dengan menghadirkan pembicara dari Singapura dan Malaysia pada Februari 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar