Minggu, 19 September 2010

Di Titik Pengharapan

Pagi ini, dalam perjalanan, seorang sahabat menelpon saya. Beliau mengabarkan keadaan buah hatinya saat ini. Yasmin, begitu sahabat saya itu memanggil anaknya, meski tidak tumbuh sebagaimana anak -anak pada umurnya, tetapi dia tetap bersemangat menjalani hari-hari yang dilalui bersama kelainan hati dan jantung yang dideritanya. mungkin allagile...mungkin kelainan hati yang lain.

Untuk mencari jenis kelainan yang diderita anaknya, sahabat saya harus menyetujui serangkaian pemeriksaan yang lazim, antara lain biopsi -yang sebenarnya tidak terlalu disarankan oleh Dokter. Kalaupun melakukan biopsi, kemudian tidak ada tindak lanjut, bagaimana? Toh, terapi rawat jalannya sama. Akan berbeda, jika transplantasi telah dipilih sebagai satu jawaban. Sudahkah siap baik dari segi mental maupun materi untuk menangani perjalanan pengobatan selanjutnya? Suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus siap untuk menyiapkan dan menjalani transplantasi, dan untuk Yasmin, masih ada permasalahan lain yang juga harus ditangani, yaitu masalah jantung.Di samping itu, ada pertanyaan lain yang juga menunggu jawaban jujur, apakah RS di Indonesia sudah siap melakukannya? RS Kariadi atau DR Soetomo? Sampai dimanakah kesiapan mereka. Saya usulkan untuk mencari second opinion ke dokter hepatolog, bisa ke bunda purnamawati atau dokter hanifah. Karena dari referensi yang ada, pemastian jenis kelainan juga bisa ditempuh dengan tes mata, atau rontgen tulang belakang... Keputusan tetap saya serahkan kepada orang tua Yasmin, tentunya setelah berkonsultasi dengan dokter.

Keadaan inilah yang membuat sahabat saya dan suaminya, sejenak merenung. Apa yang terbaik untuk anak mereka? Apakah mereka harus menjalani pengobatan progresif sampai dengan transplantasi? Sementara dua kasus transplantasi terakhir membuat mereka bimbang, toh sampai transplan pun belum tentu berhasil, apapun alasan dan penyebab kegagalannya. Sementara, bisa jadi transplantasi menjadi solusi, sebagaimana halnya Kevin dan Ulung....

Cita-cita mulia sahabat saya adalah merawat Yasmin, menjaganya, setidaknya agar tetap sehat dan tidak sakit-sakitan. Menjaga anak berkelainan hati seperti menjaga barang pecah belah, begitu rapuh dan ringkih. Tak tega rasanya melihat Yasmin terbelenggu dalam serangkain tindakan medis, meninggalkan keceriaan dan tingkah polahnya, untuk sesuatu yang belum bisa diyakini keberhasilannya. Tetapi jika ada keyakinan yang dapat dijadikan sandaran, maka tidak ada alasan lagi untuk mundur, demi kebaikan Yasmin. Sampai saat ini yang dilakukan adalah berobat jalan dan berkonsultasi ke Dokter. Beliau tinggalkan pekerjaannya untuk merawat Yasmin. Sempat terbersit kekhawatiran akan kekurangan biaya perawatan, tetapi ternyata Alloh Maha Kaya dan Maha Tahu. Tak bekerja pun, Alhamdulillah, mereka tetap bisa merawat Yasmin tanpa kekurangan satu apa.

Di titik pengharapan untuk kesembuhan Yasmin, terentang kesabaran seorang Ibu untuk menjalani ketentuan Alloh, berharap semoga Alloh memberi ketentuan terbaik..Dengan jalan apapun, yang mungkin tidak terduga-duga, semoga sesuai dengan yang Alloh kehendaki.

Ibu Hera, tetap bersemangat dan bersabar untuk mendapatkan yang terbaik bagi Yasmin..Amiin.

Leaflet Sahabat Hati Edisi Kedua



Pada edisi kedua ini kita akan belajar lebih jauh tentang macam-macam kelainan hati. Semoga bermanfaat. Masukan dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan.
Terima kasih

Senin, 28 Juni 2010

Leaflet Waspada Bayi Kuning




Semoga bermanfaat. Semoga diberikan kemudahan agar dapat diterbitkan berkala. Amiin

Rabu, 02 Juni 2010

Menuju Kesetaraan Penanganan Pasien Kelainan Hati

Kasus Bilqis di penghujung tahun 2009 membuat pemerintah dan masyarakat menoleh pada nasib penderita atresia bilier.

Seperti fenomena gunung es, anak-anak lain pengidap kelainan hati pun kemudian bermunculan di media, mengharapkan perhatian yang sama.
Di sisi lain, para orang tua harus berpacu dengan waktu agar kelainan hati tersebut tidak semakin memburuk.
Pada awal tahun 2010, setidaknya ada lima balita penderita kelainan hati yang meninggal, antara lain Chris­tian Oey Sanjaya (Kalimantan Timur), Fauzi Ramadhan (Ba­nyuwangi), Abdullah Ichsanul Fikri (Banyumas), Eka Putra Prasetya (Malang), dan terakhir Bilqis Anindya Passa (Jakarta).
Bersumber dari Tempo On­line, 15 Februari 2010, dari 164 bayi dengan kelainan hati (kolestasis) yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun­kusumo pada 2002 dan 2003, sebanyak 23 persen menderita atresia bilier. Hingga kini, terdapat 12-20 bayi dengan kasus serupa setiap tahunnya.
Kelainan hati pada balita dibagi dalam dua kategori, yaitu kelainan hati ekstrahepatik, misalnya atresia billier, dan kelainan hati intrahepatik, misalnya alagille syndrome. Penentuan kategori ini dilakukan dengan pengecekan di laboratorium dan biopsi. Penanganan lanjutan maupun prognosis sangat tergantung pada jenis kelainan hati yang diderita.

Biaya Tinggi dan Keterbatasan Ahli
Biaya yang mahal merupakan salah satu kendala yang harus dihadapi. Anak dengan kelainan hati harus mendapatkan nutrisi yang cukup, tinggi protein dan rendah lemak, serta tambahan vitamin, cukup asupan mineral, serta obat-obatan. Selain biaya pengobatan rutin, orang tua harus siap dengan pengobatan tambahan.
Permasalahan lainnya adalah keterbatasan ahli hepatologi anak. Mungkin karena ilmunya yang rumit atau karena prognosis yang tidak menyenangkan, orang tua pasien lebih mudah menemukan dokter anak spesialis gastrologi daripada hepatologi yang merupakan subspesialis dari gastrologi.
Di sisi lain, pasien berkelainan hati tidak cukup hanya ditangani oleh dokter ahli hati, tetapi juga oleh dokter ahli lain seperti spesialis paru-paru dan jantung. Karena seiring perjalanan penyakit, kelainan hati akan memengaruhi kondisi organ lainnya, terutama paru-paru dan ginjal.
Tanpa bermaksud menempatkan kelainan hati sebagai kasus yang paling penting, perlu kiranya dievaluasi apa yang sudah dilakukan dan arah pengembangannya ke depan. Sebagai negara berkembang, dapat dipahami bahwa fokus pemerintah masih berkutat untuk penanganan penyakit endemik.
Logikanya, dengan biaya Rp 1 miliar, pemerintah dapat memberikan bantuan operasional untuk sekian ribu puskesmas di Indonesia, dibandingkan jika membiayai operasi satu orang penderita kelainan hati. Jangankan di Indonesia, di Singapura pun biaya untuk operasi transplantasi hati tidak semuanya ditanggung pemerintah.
Meski demikian, pemerintah dapat, pertama, membuat protokol baku penanganan bagi pengidap kelainan hati. Pemerintah harus menentukan derajat penanganan pasien yang tergolong tidak mampu, menentukan kondisi seperti apa yang masih layak dioperasi transplantasi, skema pembiayaan, dan kuotanya setiap tahun.
Belajar dari kasus Bilqis, di mana Kementerian Kesehatan bersedia mengalokasikan dana perawatan rutin pascaoperasi hingga seumur hidup, sungguh sangat kontras dengan penanganan terhadap kasus Fikri, balita pengidap atresia yang sampai meninggalnya tidak secuil pun mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal, kondisi ekonominya jauh dari cukup.
Saat ini juga ada anak Melati yang berharap dapat menjalani transplantasi di RS Kariadi, Semarang, namun pengajuan Jamkesmas pun tersendat-sendat. Padahal, jika satu kasus mendapat perhatian pemerintah, tentunya tidak salah apabila masyarakat juga mengharapkan hal yang sama pada kasus-kasus kelainan hati lainnya.
Kedua, ada baiknya peme­rintah membentuk pusat-pusat penanganan pasien berkelainan hati. Di wilayah Indonesia bagian timur dapat dipusatkan di RS Dr Sutomo, Surabaya. Sementara itu, wilayah barat dapat dipusatkan di RS Kariadi, Semarang, dan RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Di sana pemerintah dapat melengkapi dengan sarana dan prasana yang menunjang pemeriksaan komprehensif, syukur-syukur sampai pada tahap operasi tranplantasi dan perawatan pascaoperasi. Du­pli­kasi biaya modal untuk pe­ngadaan alat-alat penunjang dapat diminimalkan karena penanganannya terpusat.
Ketiga, mengingat biaya mahal, ada baiknya dilakukan kerja sama dengan pemerintah daerah (terutama untuk daerah dengan pendapatan asli daerah/PAD tinggi) dan swasta. Sektor swasta dapat berasal dari industri kesehatan maupun industri nonkesehatan melalui corporate social responsibility (CSR).
Industri farmasi seharusnya dapat menjadi sponsor utama, sehingga tidak dijumpai lagi kesulitan seperti di RS DR Sutomo, di mana untuk pengadaan alat Sonoclot—alat untuk melihat darah tiap 10-15 menit pascaoperasi guna mengukur pembekuan darah, elastisitas darah dan lain-lain penunjang operasi transplantasi—diperlukan Rp 350 juta.
Keempat, kompetensi dokter dan paramedis perlu ditingkatkan, terutama untuk operasi transplantasi, misalnya melalui pengiriman dokter/paramedis untuk belajar di negara-negara yang sudah maju dalam teknologi transplantasi, contohnya ke Jepang.
Untuk transplantasi, pemerintah dapat mendatangkan ahli dari negara-negara tersebut ke Indonesia, disertai peningkatan kedisiplinan dari kalangan medis untuk menerapkan apa yang dipelajari di negara maju tersebut. Kompetensi lainnya yang perlu dibenahi adalah ke­mampuan berkomunikasi dengan pasien/keluarga pasien.
Kelima, petugas posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat hendaknya diberi bekal untuk menandai setiap kelainan hati yang terjadi pada bayi/anak, lalu merujuk ke rumah sakit apabila bayi menjadi kuning selama dua minggu. Masyarakat pun dapat berperan melakukan deteksi dini bayi kuning.

Deteksi Dini
Pasien berkelainan hati ditandai dengan kulit yang menguning. Jika selepas dua minggu bayi kuning dan tinjanya berwarna putih dempul, maka bayi itu harus segera diperiksakan untuk tes darah guna mengetahui fungsi hati (kadar bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, atau asam empedunya) .
Untuk kasus atresia, penanganannya harus lebih cepat, karena kerusakan hati yang dapat ditimbulkan bersifat progresif. Sementara iru, untuk kasus lain, misalnya alagille syndrome, pasien masih mempunyai tiga peluang, yaitu sepertiga sembuh, sepertiga status quo, dan sepertiga lainnya memburuk. Pemeriksaan untuk kasus alagille lebih kompleks, selain pemeriksaan fungsi hati, juga diperlukan pemeriksaan kelainan tulang belakang, jantung, dan biopsi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa kebutuhan dana bagi pasien berkelainan hati sangat besar. Oleh karenanya, diperlukan kontinuitas perhatian dari masyarakat, termasuk aksi penggalangan dana melalui gerakan yang terorganisasi.
Wadahnya dapat berbentuk yayasan atau LSM yang akuntabel, transparan, dan auditable. Jenis kegiatannya beragam, mulai dari penggalangan dana, edukasi, advokasi, dan pendampingan pasien. Saat ini, baru terbentuk LSM Peduli Hati Anak yang didirikan oleh orang tua pasien transplantasi pertama di Indonesia, Ulung Hara Utama.
Selain itu, pendampingan masyarakat dan keluarga sangat penting. Seiring dengan perjalanan penyakit ini, akan terjadi pemburukan kondisi pasien, misalnya hipertensi portal, gangguan paru-paru (hepato-pulmonary syndrome), dan sirosis hati. Dalam kondisi seperti itu, ada kalanya keluarga kurang dapat berpikir jenih. Oleh karenanya masyarakat dapat memberikan masukan. Pendampingan lebih baik dilakukan oleh mereka yang punya pengetahuan tentang kelainan hati, sehingga ketika pasien berdiskusi dengan dokter, akan terjadi dialog dua arah yang terbuka.
Upaya tersebut bukan sesuatu yang sulit. Yang diperlukan adalah keseriusan dari pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam satu tujuan, perbaikan, dan kesetaraan penanganan pasien berkelainan hati.

Penulis adalah ibu rumah tangga dari penderita alagille non syndromic
Dimuat di Sinar Harapan, tanggal 15 Mei 2010.

Jumat, 09 April 2010

Sepenggal Kisah Transplantasi di Jepang

Ketertarikan kami tentang transplantasi di Jepang tidak lepas dari cerita Ibu Yulia Sukanta, Ibunda dari Kevin, penderita kelainan hati allagile syndrome yang telah menjalani transplantasi hati di Mie University Jepang. Dari komunikasi email dengan Ibu Yulia, kami mendapat informasi penting mengenai transplantasi di Jepang, diantaranya:
1. Konsultasi dapat dilakukan melalui email.
Dari penuturan Ibu Yulia, sampai dengan pelaksanaan transplan, dia belum pernah bertemu muka dengan tim dokter. Semua konsultasi melalui email.
2. Penanganan yang Cepat
Pada saat akan menjalani transplan, kondisi Kevin sudah sangat memprihatinkan. Dengan keadaan yang nyaris lumpuh, Kevin dan keluarganya berangkat ke Jepang. Sesampai di Jepang, pengecekan donor-resipient dilakukan. Seminggu kemudian, operasi dilakukan. Pada saat itu, dalam usia 6 tahun, berat badan Kevin hanya 8 kg. Sangat jauh dari standar normal. Namun demikian, operasi tetap dapat dilakukan tanpa menunggu pencapaian standar berat badan normal.
3. ICU 7 pintu
Pasca operasi, biasanya pasien ditempatkan di ICU untuk pemantauan intensif. Di Jepang, ada 7 pintu yang harus dilalui, dan terdapat mekanisme suci hama bagi pengunjung, siapapun dia. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi infeksi kuman/bakteri yang sangat rawan terjadi pada pasien transplan.

Saya menyadari lain Jepang lain Indonesia. Tentunya Jepang lebih advance dalam hal teknologi, dan mungkin Jepang juga melalui learning curve yang cukup panjang.

Daftar Sahabat

Dr. Purnamawati Sujud P., Sp. A (K)
RS Pondok Indah, Jakarta
Kemang Medical Center


DR. dr. Hanifah Oswari, Sp.A (K)
RS Cipto Mangunkusumo/ Klinik Kiddie Care
021-6452121

Dr. Hartantyo
RS Kariadi Semarang

Ibu Julianti
085694890147

Widuri Meintari
08111493734

Bambang Sudarmanto
RS Kariadi Semarang
bambangsdmt@gmail.com


Bpk Didik/ Ayah dari Ulung Hara Utama
Jln. Puspowarno IV No. 30, Semarang
No. Tlp. 0811297796


Herawati/Ibunda Amira Zahra (Yasmin)
email : candyalig@hotmail.com

Kamis, 25 Maret 2010

Cerita tentang Ulung Dua Tahun

Berita ini saya retrieve dari berita online Radar Semarang 16 November 2008

Pasien Cangkok Hati Pertama di RSUP dr Kariadi
Pipi Ulung Makin Tembem
DUA tahun lebih pascaoperasi cangkok hati, kondisi Ulung Hara Hutomo, 3 tahun, semakin membaik. Seperti diketahui, Ulung merupakan balita pertama yang menjalani operasi cangkok hati di Indonesia. Tepatnya di RSUP dr Kariadi Semarang. Meski tetap harus mengonsumsi methyl satu kali sehari, Ulung tak terlihat sebagai mantan penderita kelainan hati yang membahayakan nyawanya. Bocah itu tetap lincah bermain, ceriwis, dan bandelnya bukan main.Saat koran ini menyambangi rumahnya di Jalan Puspowarno IV No 30 Kelurahan Salaman Mloyo, Semarang Barat, bocah berambut keriting ini sedang bermain dengan Lisa Olivia, 40, ibunya. Saat dipanggil Didik, 50, ayahnya, Ulung langsung menghampiri koran ini. Kotak plastik berisi jagung rebus dan parutan keju tak pernah lepas dari tangannya. "Itu sarapannya tiap hari, dia selalu minta jagung dan keju," kata Didik.Meski postur badannya normal, kedua pipi bocah berusia 3 tahun 4 bulan tersebut terlihat makin chubby. Didik mengatakan, pipi Ulung menjadi tembem karena pengaruh methyl yang harus diminum tiap hari. Obat tersebut harus dikonsumsi agar bocah berbobot 13 kilogram tersebut lebih tahan terhadap bakteri dan kuman pembawa penyakit. "Obat harus diminum hingga fungsi livernya stabil," ujar Didik, pengusaha kayu.Selain obat, sebulan sekali Didik juga harus memeriksakan kondisi Ulung ke laboratorium. Pria yang tak mau menyebut nama lengkapnya itu menceritakan, Ulung kini tambah nakal. Hampir tiap hari anak bungsunya itu minta dibelikan mainan tokoh superhero Power Rangers. "Mungkin semua toko mainan di Semarang dari yang modern hingga di kampung-kampung sudah disambangi," paparnya. Akibatnya, Ulung kini punya koleksi mainan Powers Rangers segudang. Mulai dari action figure-nya, balon, DVD, serta beberapa item senjata 'jagoan' tersebut seperti pedang, senapan, dan jam. Koleksi lainnya, topeng Spiderman, robot Transformers, dan bola.Namun karena masih kecil, koleksinya tak selalu dirawat dengan baik. "Kadang mainannya dibuang atau malah dipatah-patahkan sampai rusak," ujar Didik yang memakai kaos oblong dan celana pendek.Tak hanya itu, Ulung juga kerap berantem dengan kakaknya, Dida Agashi Utomo, 5, saat memperagakan aksi Power Rangers. "Kadang pukul-pukulan, dan melompat. Pokoknya ngawur. Saya sampai ngeri," katanya. Anak ini juga ceriwis bukan main, meski intonasi bicaranya belum begitu jelas. Dia terus mengajak ngobrol Radar Semarang. Ulung juga sempat menyanyikan sebait lagu Bukan Superstars milik grup Project Pop. Andai aku Letto, wis mesti aku wong Jowo.." senandungnya menyanyikan lagu yang memarodikan grup Letto tersebut.Seperti diketahui, Ulung merupakan balita pasien cangkok hati pertama yang menjalani operasi di Indonesia. Operasi tersebut dilakukan Oktober 2006 silam saat dirinya berusia 1,5 tahun. Tim dokter RS dr Kariadi Semarang berhasil mencangkokkan hati yang diambilkan dari ibunya sebagai pendonor. Didik mengatakan, dua tahun setelah operasi, kondisi Ulung sudah selayaknya balita normal. "Sehabis Lebaran lalu memang sempat diare dan diopname di rumah sakit. Tapi selebihnya tak pernah kenapa-kenapa," ungkapnya. Bocah yang sedang lucu-lucunya itu juga makan seperti biasa. Tak ada pantangan tertentu. Ulung, menurutnya, tak pernah mengeluh meski harus minum Methyl setiap hari. "Padahal obat itu obat paling pahit sedunia. Dia memang tahu diri dan terbiasa tanggung jawab. Ulung juga tahu harus selalu minum air putih dan tidak minum teh," kata Didik memuji anaknya yang memang sudah minum obat sejak lahir itu.Tambah Gemuk, Lisa Kini Diet Jika kondisi Ulung sehat, demikian juga dengan ibunya, Lisa Olivia. Kini wanita berkulit putih itu mengaku semakin gemuk. Namun dia mengaku tak pernah menimbangkan berat badannya. Karenanya, dia kini sedang rajin senam dan bersepeda. "Saya juga diet. Dokter menyarankan agar tidak makan nasi," ceritanya.Wanita yang merelakan sebagian hatinya diiris dan didonorkan untuk anaknya ini mengaku tak memiliki gangguan kesehatan apapun setelah hatinya 'tak utuh' lagi. "Saya cuma merasa cepat lelah," ungkapnya. Namun jawaban tersebut langsung disangkal suaminya. Menurut Didik, kelelahan yang dialami Lisa bisa karena banyak faktor. "Bisa karena kesibukan atau malah sedang tak punya uang. Kelelahan karena pernah jadi pendonor belum bisa dibuktikan," tandasnya.Lisa yang menjadi ibu rumah tangga tersebut juga mengisi waktu luang dengan berjualan tas, kain, dan baju di rumahnya. Lisa yang didampingi suaminya mengaku, pihaknya lebih memanjakan Ulung dibanding kakaknya, Dida. "Ini bukan membedakan. Hanya perlakuan terhadap Ulung memang harus lebih hati-hati." Kehati-hatian tersebut semata-mata dilakukan agar bakteri dan kuman tak sampai menyerang tubuh Ulung yang kondisinya lebih rentan. Karenanya kebersihan makanan dan lainnya lebih diperhatikan.Dia juga mengaku sudah memberikan pengertian kepada Dida, untuk ikut menjaga kondisi adiknya. Namun nasihat itu tak selalu dituruti. "Yang namanya anak kecil ya sudah ngalah. Kalau bermain malah sering pukul-pukulan." Jadi Tempat Konsultasi Setahun setelah operasi cangkok hati anaknya berhasil, Didik mendirikan LSM Penyakit Hati Anak. Hingga kini dia masih sering dijadikan tempat konsultasi para orangtua yang mempunyai anak bergejala penyakit sama dengan Ulung."Saya siap 24 jam untuk diajak konsultasi. Kadang ada yang menelepon jam sepuluh atau sebelas malam. Ada juga yang langsung datang ke sini untuk melihat kondisi Ulung dan ibunya," papar Didik yang mengaku mendirikan LSM karena panggilan jiwa.LSM yang dikelolanya beranggotakan 10 orang. Kini, dia mengaku menangani konsultasi untuk 15 kasus bergejala mirip kelainan hati. Menurutnya, penyakit tersebut bergejala tubuh menguning dan faeses berwarna putih.Selama menangani konsultasi, dia pernah menemukan kasus bergejala sama, namun kemudian sembuh dengan sendirinya. "Mungkin penyebabnya lain, mungkin itu karena virus," katanya. Ada pula orangtua yang sudah siap mengoperasikan anaknya. Mereka sudah menyiapkan dana dan pendonor. Namun kemudian anaknya tak tertolong karena penanganannya terlambat. "Yang dari Bogor malah kini penderitanya berusia 5 tahun dan masih bisa bertahan," ungkap dia.Ia mengaku di antara yang berkonsultasi kepadanya, belum ada yang mengikuti jejaknya mencangkokkan hati pada anaknya. LSM-nya juga diakui belum bisa mengumpulkan donasi bagi kalangan tak mampu untuk mengoperasikan anaknya. "Sifatnya lebih ke konsultasi dan memberikan motivasi. Namun sebisa mungkin mengusahakan agar penanganannya tak terlambat," ujarnya. Ke depan, dia berkeinginan LSM-nya bisa membantu dana bagi operasi cangkok hati. Dia berpendapat, sebagai orangtua pihaknya harus mengupayakan kesembuhan dan pengobatan maksimal bagi anak. Sebab, anak mempunyai hak hidup. "Kita harus berusaha semampu kita. Bukan hanya menyerah pada takdir," kata Didik yang mengaku dulu sempat putus asa.Dia merasa beruntung karena sebelum dan sesudah menjalani operasi, anaknya menunjukkan semangat hidup yang tinggi. "Dia punya semangat luar biasa untuk melawan penyakitnya. Itulah yang membuat saya semakin termotivasi untuk mengupayakan kesembuhan."

Cerita tentang Ulung Satu Tahun

Cerita ini saya retrieve dari Radar Banten online 24 November 2007

Ulung Hara Utomo, Setahun Jadi Inspirator Cangkok Hati Anak Indonesia
Setahun pasca operasi cangkok hati di RS Kariadi, Semarang, balita Ulung Hara Hutomo maupun si pendonor, ibunya sendiri, kondisinya semakin membaik. Orangtua pasien cangkok hati dengan donor hidup pertama di Indonesia itu kini sibuk menjadi “konsultan” bagi anak-anak yang punya problem yang sama. RICKY F-Semarang SEPERTI anak normal umumnya, Ulung yang kini menginjak usia 2 tahun 4 bulan, terlihat aktif. Saat ditemui usai kontrol di Klinik Hepatologi, Paviliun Garuda RS dr Kariadi, Kamis (22/11), badannya seperti tak bisa diam.“Sampai sekarang dua bulan sekali masih harus kontrol ke dokter untuk mengetahui perkembangannya,” kata Didik, ayah Ulung. Ulung memang tampak sehat. Tinggi dan berat badannya tumbuh ideal. Kesegaran fisik itu terlihat dari pipinya yang montok, bola mata yang lebar, serta rambut berombak Ulung yang disisir rapi. Dia juga tidak takut kontak dengan orang lain. Saat diambil gambarnya, dia malah menunjuk-nunjuk kamera dengan senang. Didik mengakui, putra keduanya tersebut sudah berkembang layaknya anak normal. Padahal, sebelum operasi, saat usianya 15 bulan, Ulung tak bisa jalan. Bahkan, pertumbuhan badannya tak seperti anak sebayanya. Maklum, sejak lahir, Ulung mengalami kelainan pada organ tubuh yang disebut atresia bilier. Saluran empedunya tidak bisa berfungsi, sehingga cairan empedu tertimbun di hati. Timbunan itu menyebabkan kerusakan sel-sel hati, sehingga hati Ulung mengalami sirosis (pengerutan) dan tidak bisa berfungsi secara baik. Yang lebih membuat orangtuanya waswas, dibanding anak normal, Ulung saat itu juga lebih sensitif terhadap segala jenis penyakit menular. “Sekarang Ulung sudah bisa jalan,” katanya. Menurut Didik, sebulan yang lalu Ulung kembali harus diopname di rumah sakit karena kadar Hb darahnya rendah. Selama tujuh hari dirawat, Ulung mendapat transfusi darah. Selain itu, hingga sekarang dia masih harus mengonsumsi Prograf (obat khusus untuk pasien cangkok hati). Soal makanan, lanjut Didik, anaknya doyan segala jenis makanan yang biasa dikonsumsi orang normal. Namun abon, permen, dan martabak Bandung menjadi favorit Ulung. Operasi cangkok liver di RS Kariadi itu membuat Ulung dan ibunya sering jadi rujukan bagi pasien anak yang mengalami kelainan serupa. Keprihatian itu pula yang mendorong Didik mendirikan LSM Penyakit Hati Anak. Lewat lembaga yang didirikan tepat setahun setelah operasi yang sukses itu, keluarga Didik melayani konsultasi bagi orangtua pasien anak lainnya. Kegiatan utama LSM-nya, kata Didik, masih sebatas memberikan informasi tentang penyakit hati kepada yang membutuhkan. Kata dia, cangkok hati merupakan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan pasien. Menurut dia, informasi tentang penyakit hati di Indonesia masih sangat minim. Selama ini orang lebih banyak mencari keterangan dari internet atau sumber lainnya. Minimnya informasi tentang kelainan atresia bilier seperti yang dialami Ulung tersebut juga diungkapkan penggagas cangkok hati RS dr Kariadi Prof Dr dr Soemantri Ag SpA (K) Ssi. Menurut dia, selama ini masih banyak pasien yang pergi ke rumah sakit di luar negeri untuk melakukan operasi. Padahal, tidak semua pasien berasal dari golongan berpunya. Dengan keberhasilan operasi Ulung, tim dokter berhasil membuktikan bahwa Indonesia juga bisa melakukan operasi cangkok hati. Apalagi, operasi di dalam negeri mampu menekan biaya. “Jika ditangani dengan baik, pasien pasti dapat diselamatkan,” katanya. Prof Soemantri dan para koleganya di RS Kariadi kini gencar melakukan upaya sosialisasi. Salah satunya dengan menerbitkan buku “Selayang Pandang Cangkok Hati pada Anak”. Selain itu, mereka juga berencana menggelar Simposium Internasional Transplantasi Hati dengan menghadirkan pembicara dari Singapura dan Malaysia pada Februari 2008.

Rabu, 24 Maret 2010

Sekilas Cerita Alfa

Dari berbagai sumber di internet coba saya sarikan kisah Muhammad Al Farisi, penderita Allagile Syndromic dari Bogor...

-> Dari http://www.jawapos.co.id/ _>
Setelah Ulung Hara Hutomo, satu lagi balita penderita kelainan hati siap dioperasi di Indonesia. Hanya, langkah transplantasi hati bagi Mohammad Alfarisi (7 tahun) di RSUP dr Kariadi, Semarang, itu terkendala belum adanya pendonor hati untuknya.Banyak anak yang menderita kelainan hati. Namun, Alfa yang lahir 1 Februari 2002 terbilang istimewa. Dia mampu bertahan hidup hingga usia tujuh tahun. Banyak pasien penyakit yang belum ada obatnya tersebut meninggal dunia pada usia 2-3 tahun.Seperti para penderita lainnya, kedua orang tua Alfa -Indra Ismail, 29, dan Julianti- mulai melihat ada yang tidak beres dengan tubuh anaknya sejak kecil. Kulit Alfa hitam dan kusam, matanya kuning, dan kotorannya putih.Kemudian, mereka mulai mencari berbagai referensi. "Dari internet saya ketahui ciri fisik Alfa cocok dengan gejala kelainan hati," ujar Julianti saat ditemui di rumah Didik, ayah Ulung, yang membuka LSM Penyakit Hati Anak di Jalan Puspowarno IV No 30, Semarang.Bocah tersebut lalu dibawa berobat. Hingga suatu saat dokter melakukan biopsi atau pengambilan jaringan hati. Dari situ diketahui penyakit Alfa dikategorikan sebagai alagille syndrome. Itu berarti hati Alfa yang bentuk luarnya terlihat normal, ternyata, tak berfungsi optimal. "Katakanlah hanya 20 persen dari jaringan hatinya yang berfungsi," ujar Indra.Kelainan tersebut mengakibatkan organ tubuh vital tersebut tak mampu menyaring racun dalam tubuhnya. Racun pun mengalir ke darah, membuat kulitnya hitam dan tubuh sering gatal-gatal. Menurut dokter, penderita penyakit tersebut adalah 1 : 100.000.Kondisi yang diderita bocah yang bersama orang tuanya tinggal di Bogor itu sedikit berbeda dengan Ulung. Ulung yang kini telah beraktivitas seperti bocah umumnya menderita kelainan atresia billier yang tak mempunyai saluran empedu.Demi kelangsungan hidup anaknya, Indra dan Julianti mengaku siap melakukan operasi cangkok hati. Julianti sempat membawa anaknya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dari situ mereka disarankan menjalankan operasi cangkok hati di luar negeri. Bisa ke Singapura, Tiongkok, atau Inggris. Namun, biaya yang sangat tinggi (mencapai Rp 2,5 milliar) nyaris membuat mereka menyerah.Hingga suatu saat, Julianti yang karyawan sebuah bank membaca berita tentang Ulung di sebuah media. Dari situ dia tahu bahwa cangkok hati sudah bisa dilakukan di Indonesia dan berhasil. Dia pun mencoba menghubungi Didik, pemilik LSM Penyakit Hati Anak yang hingga kini terus mendampingi mereka.Sayang, saat niat dan dana disiapkan, mereka tak kunjung menemukan donor hati yang pas dengan anak keempatnya tersebut. Golongan darah Alfa adalah O+. Sementara itu, golongan darah Julianti A dan kepunyaan Indra B.Saat mereka mencoba mencari pendonor dari keluarga, juga tak ada yang cocok. Sebab, selain golongan darah yang sama, jaringan hati pendonor harus mirip dan kondisinya sehat.

>>>(Adek Alfa telah meninggal Agustus 2009 lalu. Detail kabarnya tidak dapat saya retrieve kembali dari internet. Semoga Alloh memberikan tempat yang mulia buat adek Alfa, dan kepada keluarganya agar dianugerahi kesabaran dan ampunan).

Nutrisi dan Sirosis





Saya cuplik dari hasil browsing internet, semoga bermanfaat

Jumat, 12 Maret 2010

Cerita tentang Fikri

Perkenalan saya dengan keluarga Fikri dimulai ketika suami saya menonton TransTV yang menyiarkan berita tentang Fikri- salah satu penderita atresia bilier sebagaimana halnya Bilqis yang tengah menjadi fokus berita saat itu. Kemudian berita online juga memberitakan bahwa mereka ditangani Lembaga Kesehatan Cuma- Cuma Dompet Dhuafa Republika. Saya coba telepon desk berita online tersebut, tapi sayangnya mereka tidak punya nomor kontak. Singkat cerita akhirnya saya dapat juga nomor kontak keluarga Fikri dari Lembaga Kesehatan Cuma-Cuma Dompet Dhuafa Republika. Itupun setelah saya ceritakan agak panjang motivasi dan latar belakang saya….thanks mbak Reita.
Pertama kali menengok Fikri, di ruang rawat ODC RS Cipto tanggal 11 Februari 2010. Waktu itu Fikri sedang tidur nyenyak. Saya bertemu dengan Ani Purwaningsih dan Ngabdu Salam - orang tuanya. Melihat Fikri, kontras sekali dengan Zahra. Fikri terlihat gemuk - tetapi kata ibunya sebagian adalah timbunan cairan, sementara Zahra kurus, di usianya yang empat tahun dia hanya berbobot 7 kg.
Selama satu minggu dirawat, saya sempatkan sekali lagi menjenguknya. Di kunjungan kedua, sudah ada tiga selang di tubuhnya, rewel karena masih wajib puasa akibat perdarahan di saluran pencernaan. Tiap kali minta digaruk, di kuping, kaki, pipi.......

Manusia berupaya, Alloh yang menentukan. Pada hari Sabtu, 20 Februari 2010, Alloh menghendaki Fikri kembali ke pangkuan-Nya. Teringat telepon dari Ibu Ani mengabarkan keadaan Fikri, antara berusaha ikhlas dan berharap keajaiban. Saya bisa membayangkan perasaan seorang Ibu yang menanti kelahiran seorang putra selama 8 tahun, belum genap 2 tahun dalam dekapan, Alloh hendak mengambilnya kembali. Dan sepanjang kurang dari 2 tahun tersebut, kelainan atresia bilier mengiringi. Aliran rezeki pun tak lepas dari saringan-Nya. Hingga meninggalnya Fikri, keluarga tersebut tidak menerima jaminan layanan kesehatan resmi dari pemerintah (Jamkesmas). Sisa dana aksi solidaritas Fikri pun dimanfaatkan Panitia untuk penderita atresia bilier yang lain....Subhanalloh...

Senin, 08 Maret 2010

Pasang NGT

Sepotong cerita dari orang tua Zahra.....

Hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2010, saya membulatkan tekad untuk menemani Zahra menggunakan slang NGT kedua kalinya. Seminggu sebelumnya, Dokter sudah memasangkan di hidung mungil Zahra, tetapi hanya bertahan semalam. Sepanjang malam itu, dia mogok. Tidak mau diturunkan dari gendongan, tidak mau makan dan minum. Akhirnya saya menyerah, saya lepas sendiri slang NGT tersebut.

Dengan berat badan yang masih jauh dari normal, pilihan memasang NGT (Nasogastrik) memang harus dicoba. Teorinya, satu minggu berat badan bisa bertambah 1/2 kg. Asupan yang diberikan adalah makanan cair/ susu, terutama pada saat malam hari, setidaknya sampai dengan 1000 cc. Sedangkan siang, makan seperti biasa.

Itu Teorinya. Tetapi pada prakteknya, banyak kendala yang dihadapi. Sebelum suster RS memasangkan slang NGT ke Zahra, saya minta kepadanya untuk memasangkan ke saya dulu. Suster sampai mengulang pertanyaannya 3 (tiga) kali. Saya bilang saya serius, supaya bisa merasakan apa yang dirasakan anak saya, tidak sekedar perintah-perintah saja, meskipun saya tidak akan masukkan apapun dalam slang tersebut.

Pertama kali, slang itu dilumuri semacam jelly. Lalu dimasukkan dari lubang hidung, sedikit demi sedikit, dan saya diminta untuk membantu dengan gerakan menelan, agar selang dapat lebih cepat masuk ke lambung. Pada saat mulai masuk lambung, mulai terasa mual, rasanya semua udara di lambung keluar semua, dan selang yang ada di hidung rasanya seperti kalau kita tersedak dan kemasukan air. Setelah selesai, selang di-fix di hidung dengan plester......

Giliran anak saya......butuh waktu hampir satu jam untuk mencoba memasukkan slang tersebut. Anak saya yang sudah pernah merasakan dipasang NGT, mencoba merayu saya untuk mengurungkan niat pemasangan NGT. Karena dia menolak, berulang kali suster gagal memasang NGT tersebut. Sampai akhirnya, dipanggilah perawat anak untuk membantu pemasangan NGT. Alhamdulillah berhasil.

Kali ini berapa lama NGT dapat bertahan?.......Tak lebih dari 5 (lima) jam..... Tetap saja anak saya tidak mau makan seperti biasanya, maunya digendong terus..padahal kalau terlalu lama digendong, telapak kakinya bengkak.....Tetapi untungnya masih sempat dimasukin susu 250 ml......

Saran saya, jika memang Dokter memberi opsi untuk pemasangan NGT, lakukan sedini mungkin, sehingga lebih terbiasa dengan ketidaknyamanan. Saya sendiri menunda pemasangan NGT selama 2 tahun, dengan harapan ada perbaikan kondisi tanpa pemasangan NGT. Saya pernah melihat seorang anak dipasang NGT, tetapi mereka terlihat tidak terganggu. Dan jika Anda pemakai pemula NGT, untuk mengurangi ketidaknyamanan, sering-seringlah minum disela-sela makan, supaya tidak memicu mual.........

Jumat, 05 Maret 2010

Catatan Satu

Semoga tulisan-tulisan ini bermanfaat untuk kehidupan yang lebih baik.....