Senin, 28 Juni 2010

Leaflet Waspada Bayi Kuning




Semoga bermanfaat. Semoga diberikan kemudahan agar dapat diterbitkan berkala. Amiin

Rabu, 02 Juni 2010

Menuju Kesetaraan Penanganan Pasien Kelainan Hati

Kasus Bilqis di penghujung tahun 2009 membuat pemerintah dan masyarakat menoleh pada nasib penderita atresia bilier.

Seperti fenomena gunung es, anak-anak lain pengidap kelainan hati pun kemudian bermunculan di media, mengharapkan perhatian yang sama.
Di sisi lain, para orang tua harus berpacu dengan waktu agar kelainan hati tersebut tidak semakin memburuk.
Pada awal tahun 2010, setidaknya ada lima balita penderita kelainan hati yang meninggal, antara lain Chris­tian Oey Sanjaya (Kalimantan Timur), Fauzi Ramadhan (Ba­nyuwangi), Abdullah Ichsanul Fikri (Banyumas), Eka Putra Prasetya (Malang), dan terakhir Bilqis Anindya Passa (Jakarta).
Bersumber dari Tempo On­line, 15 Februari 2010, dari 164 bayi dengan kelainan hati (kolestasis) yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangun­kusumo pada 2002 dan 2003, sebanyak 23 persen menderita atresia bilier. Hingga kini, terdapat 12-20 bayi dengan kasus serupa setiap tahunnya.
Kelainan hati pada balita dibagi dalam dua kategori, yaitu kelainan hati ekstrahepatik, misalnya atresia billier, dan kelainan hati intrahepatik, misalnya alagille syndrome. Penentuan kategori ini dilakukan dengan pengecekan di laboratorium dan biopsi. Penanganan lanjutan maupun prognosis sangat tergantung pada jenis kelainan hati yang diderita.

Biaya Tinggi dan Keterbatasan Ahli
Biaya yang mahal merupakan salah satu kendala yang harus dihadapi. Anak dengan kelainan hati harus mendapatkan nutrisi yang cukup, tinggi protein dan rendah lemak, serta tambahan vitamin, cukup asupan mineral, serta obat-obatan. Selain biaya pengobatan rutin, orang tua harus siap dengan pengobatan tambahan.
Permasalahan lainnya adalah keterbatasan ahli hepatologi anak. Mungkin karena ilmunya yang rumit atau karena prognosis yang tidak menyenangkan, orang tua pasien lebih mudah menemukan dokter anak spesialis gastrologi daripada hepatologi yang merupakan subspesialis dari gastrologi.
Di sisi lain, pasien berkelainan hati tidak cukup hanya ditangani oleh dokter ahli hati, tetapi juga oleh dokter ahli lain seperti spesialis paru-paru dan jantung. Karena seiring perjalanan penyakit, kelainan hati akan memengaruhi kondisi organ lainnya, terutama paru-paru dan ginjal.
Tanpa bermaksud menempatkan kelainan hati sebagai kasus yang paling penting, perlu kiranya dievaluasi apa yang sudah dilakukan dan arah pengembangannya ke depan. Sebagai negara berkembang, dapat dipahami bahwa fokus pemerintah masih berkutat untuk penanganan penyakit endemik.
Logikanya, dengan biaya Rp 1 miliar, pemerintah dapat memberikan bantuan operasional untuk sekian ribu puskesmas di Indonesia, dibandingkan jika membiayai operasi satu orang penderita kelainan hati. Jangankan di Indonesia, di Singapura pun biaya untuk operasi transplantasi hati tidak semuanya ditanggung pemerintah.
Meski demikian, pemerintah dapat, pertama, membuat protokol baku penanganan bagi pengidap kelainan hati. Pemerintah harus menentukan derajat penanganan pasien yang tergolong tidak mampu, menentukan kondisi seperti apa yang masih layak dioperasi transplantasi, skema pembiayaan, dan kuotanya setiap tahun.
Belajar dari kasus Bilqis, di mana Kementerian Kesehatan bersedia mengalokasikan dana perawatan rutin pascaoperasi hingga seumur hidup, sungguh sangat kontras dengan penanganan terhadap kasus Fikri, balita pengidap atresia yang sampai meninggalnya tidak secuil pun mendapatkan bantuan dari pemerintah. Padahal, kondisi ekonominya jauh dari cukup.
Saat ini juga ada anak Melati yang berharap dapat menjalani transplantasi di RS Kariadi, Semarang, namun pengajuan Jamkesmas pun tersendat-sendat. Padahal, jika satu kasus mendapat perhatian pemerintah, tentunya tidak salah apabila masyarakat juga mengharapkan hal yang sama pada kasus-kasus kelainan hati lainnya.
Kedua, ada baiknya peme­rintah membentuk pusat-pusat penanganan pasien berkelainan hati. Di wilayah Indonesia bagian timur dapat dipusatkan di RS Dr Sutomo, Surabaya. Sementara itu, wilayah barat dapat dipusatkan di RS Kariadi, Semarang, dan RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Di sana pemerintah dapat melengkapi dengan sarana dan prasana yang menunjang pemeriksaan komprehensif, syukur-syukur sampai pada tahap operasi tranplantasi dan perawatan pascaoperasi. Du­pli­kasi biaya modal untuk pe­ngadaan alat-alat penunjang dapat diminimalkan karena penanganannya terpusat.
Ketiga, mengingat biaya mahal, ada baiknya dilakukan kerja sama dengan pemerintah daerah (terutama untuk daerah dengan pendapatan asli daerah/PAD tinggi) dan swasta. Sektor swasta dapat berasal dari industri kesehatan maupun industri nonkesehatan melalui corporate social responsibility (CSR).
Industri farmasi seharusnya dapat menjadi sponsor utama, sehingga tidak dijumpai lagi kesulitan seperti di RS DR Sutomo, di mana untuk pengadaan alat Sonoclot—alat untuk melihat darah tiap 10-15 menit pascaoperasi guna mengukur pembekuan darah, elastisitas darah dan lain-lain penunjang operasi transplantasi—diperlukan Rp 350 juta.
Keempat, kompetensi dokter dan paramedis perlu ditingkatkan, terutama untuk operasi transplantasi, misalnya melalui pengiriman dokter/paramedis untuk belajar di negara-negara yang sudah maju dalam teknologi transplantasi, contohnya ke Jepang.
Untuk transplantasi, pemerintah dapat mendatangkan ahli dari negara-negara tersebut ke Indonesia, disertai peningkatan kedisiplinan dari kalangan medis untuk menerapkan apa yang dipelajari di negara maju tersebut. Kompetensi lainnya yang perlu dibenahi adalah ke­mampuan berkomunikasi dengan pasien/keluarga pasien.
Kelima, petugas posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat hendaknya diberi bekal untuk menandai setiap kelainan hati yang terjadi pada bayi/anak, lalu merujuk ke rumah sakit apabila bayi menjadi kuning selama dua minggu. Masyarakat pun dapat berperan melakukan deteksi dini bayi kuning.

Deteksi Dini
Pasien berkelainan hati ditandai dengan kulit yang menguning. Jika selepas dua minggu bayi kuning dan tinjanya berwarna putih dempul, maka bayi itu harus segera diperiksakan untuk tes darah guna mengetahui fungsi hati (kadar bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, atau asam empedunya) .
Untuk kasus atresia, penanganannya harus lebih cepat, karena kerusakan hati yang dapat ditimbulkan bersifat progresif. Sementara iru, untuk kasus lain, misalnya alagille syndrome, pasien masih mempunyai tiga peluang, yaitu sepertiga sembuh, sepertiga status quo, dan sepertiga lainnya memburuk. Pemeriksaan untuk kasus alagille lebih kompleks, selain pemeriksaan fungsi hati, juga diperlukan pemeriksaan kelainan tulang belakang, jantung, dan biopsi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa kebutuhan dana bagi pasien berkelainan hati sangat besar. Oleh karenanya, diperlukan kontinuitas perhatian dari masyarakat, termasuk aksi penggalangan dana melalui gerakan yang terorganisasi.
Wadahnya dapat berbentuk yayasan atau LSM yang akuntabel, transparan, dan auditable. Jenis kegiatannya beragam, mulai dari penggalangan dana, edukasi, advokasi, dan pendampingan pasien. Saat ini, baru terbentuk LSM Peduli Hati Anak yang didirikan oleh orang tua pasien transplantasi pertama di Indonesia, Ulung Hara Utama.
Selain itu, pendampingan masyarakat dan keluarga sangat penting. Seiring dengan perjalanan penyakit ini, akan terjadi pemburukan kondisi pasien, misalnya hipertensi portal, gangguan paru-paru (hepato-pulmonary syndrome), dan sirosis hati. Dalam kondisi seperti itu, ada kalanya keluarga kurang dapat berpikir jenih. Oleh karenanya masyarakat dapat memberikan masukan. Pendampingan lebih baik dilakukan oleh mereka yang punya pengetahuan tentang kelainan hati, sehingga ketika pasien berdiskusi dengan dokter, akan terjadi dialog dua arah yang terbuka.
Upaya tersebut bukan sesuatu yang sulit. Yang diperlukan adalah keseriusan dari pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam satu tujuan, perbaikan, dan kesetaraan penanganan pasien berkelainan hati.

Penulis adalah ibu rumah tangga dari penderita alagille non syndromic
Dimuat di Sinar Harapan, tanggal 15 Mei 2010.